Saturday, March 8, 2008

Apa itu Sastra Islam


Dalam esainya 'Masalah Sastra Islam' yang terkumpul dalam buku Ihwal Dunia Sastra: Kumpulan Esai (1986: 53-57) M Ali mengatakan label “sastra Islam” itu sungguh penuh kekaburan.

Kita tahu sponsor besar di belakang semua label “Sastra Islam” itu pada mulanya diusung Forum Lingkar Pena (FLP) yang sebagian besar anggotanya adalah aktivis dakwah kampus. Komunitas yang dinahkodai Helvy Tiana Rosa dan rekan-rekannya ini sekian tahun berjuang dengan gigih, serius, jungkir balik, nggetih, agar bagaimana sastra mereka labelkan dengan frase “Islam” itu mendapat tempat di hati pembaca. Dan semua jerih itu menuai sukses, terutama di sisi pemasaran.

Nah, kesuksesan (marketing) itu kemudian picu para penyusul secara bergelombang-gelombang. Nyaris semua penerbit berlomba (membuat anak perusahaan baru) dan melabel fiksi yang diterbitkannya dengan sebutan “Sastra Islam”, terutama yang berdomisili di Jakarta, Bandung, maupun Yogyakarta.



Akan ada barisan tuduhan bahwa sastra (yang) tak berlabel Islam disusupi dan disuapi oleh kaum kafir, zindiq, murtad, majusi, abdi setan, anak jin, dan seterusnya. Aduh aduh, sungguh tak elok. Padahal, sastra yang disebut-sebut Islami itu boleh jadi (semata) didorong oleh semangat “tampil beda” belaka. Karena itu, usaha memulung idiom-idiom Islam (Arab?) seperti “akhi”, “akhwat”, “ya, Allah”, “afwan”, “subhanallah”, “astaghfirullah”, kata-kata Tuhan (-Nya), guyuran kutipan ayat dan hadis, dan sebagainya, dianggap sudah mendapatkan pengakuan sebagai karya yang Islami. Sungguh gawat.


NOTE
Artikel asli post diatas: Mengapa kita menolak sastra berlabel

Recent Comments