Newspeak TerorismePosted by: "Farid Gaban" faridgaban@yahoo.com
Tue Jun 19, 2007 10:56 pm (PST)
Membunuh orang tak berdosa adalah kejahatan yang patut dikutuk. Period. Pelakunya harus diadili sekeras-kerasnya, meski dengan prosedur yang benar. Peran media sangat penting dalam menentukan arah penyidikan dan mengawal "prosedur yang benar" tadi.
Namun, sejak awal isu terorisme Jemaah Islamiyah menjadi aktual (selepas 11 September 2001), saya selalu risau dengan cara media massa, baik internasional maupun lokal memberitakannya. Mengikuti secara detil beberapa kasus, saya berkesimpulan media-massa telah banyak kehilangan daya kritis dan rentan menjadi alat propaganda.
Mengikuti konsep Homeland Security Act dan Patriot Act di Amerika, Indonesia mensyahkan UU Anti-Terorisme selepas Tragedi Bom Bali. Polisi dan badan intelijen sangat berperan dan berkuasa di sini, untuk menangkap, memeriksa, menembak, membunuh, menyadap dan semua hal yang dipahami sebagai hak asasi warga negara. Tanpa ada check and balance dari lembaga lain, termasuk pers, polisi dan aparat intelijen sangat potensial menyalahgunakan kekuasaan dan memanipulasi publik dalam isu ini.
Apa yang terjadi di Amerika sekarang adalah fenomena "
McCarthyism"(untuk memahami istilah ini kita perlu nonton filmnya George Clooney "Good Night and Good Luck"). Dulu "komunisme" kini "terorisme". Hal yang sama sedang terjadi di Indonesia.
"Terorisme" menjadi newspeak baru, meminjam Noam Chomsky, sebuah kata yang sudah "ditekuk dan ditundukkan" untuk menjadi label sekehendak penggunanya. Sama seperti "komunisme" atau "kiri" atau "fundamentalis kanan" di masa Orde Baru. Orang yang terkena newspeak cenderung sudah dianggap bersalah, tidak patut dibela, tidak perlu dihargai lagi hak-haknya. Tuduhan atau sangkaan saja sudah cukup untuk membunuh hak sipilnya.
Jika wartawan ingin menulis tentang terorisme, saya kira ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Yang pertama-tama, adalah memahami apa yang disebut terorisme sebenarnya, apa bedanya dengan kekerasan biasa. "Terorisme" per definisi adalah "kekerasan dengan motif politik", jadi ada goal atau tujuan politik dari kekerasan (pembunuhan, penyanderaan, pemboman) itu.
Jadi terorisme selalu dilakukan oleh sebuah gerakan politik. Gerakan ini umumnya memiliki sayap politik dan sayap militer. Sayap militer inilah yang biasa melakukan kekerasan, menunjukkan kekuatan, agar sayap politik/diplomasi memperoleh amunisi dalam bargaining-power dari apa yng dituntut dan diinginkan. Gerakan seperti ini kadang tidak sungkan untuk mengklaim kekerasan yang tidak dibuatnya hanya agar dikesankan kuat, memiliki power, yang nanti akan digunakan dalam negosiasi politik.
Itulah yang terjadi di Irlandia Utara (ada Sein Fenn, sayap politik, dan ada IRA, sayap militer), di Basque (Spanyol), di Palestina, di Chehnya, atau di Aceh di masa lalu. Atau bahkan dalam perang kemerdekaan Indonesia. Serangan Fajar Soeharto, misalnya, adalah gertak sambal militer untuk memperoleh daya tawar politik di lapangan diplomasi. Semuanya memiliki goal politik yang jelas.
Sebuah gerakan teror kadang hanya mengancam akan meledakkan sesuatu gedung, misalnya, dengan sebuah tuntutan politik yang jelas. Dan mereka akan mengurungkan peledakan jika tuntutannya dipenuhi.
Motif politik inilah yang absen dalam rangkaian teror bom "Jemaah Islamiyah" di Indonesia, sejak "bom Natal" (sebelum 11 September Amerika) hingga "Bom Bali", "Bom Marriott" dan "Bom Kedutaan Australia di Jalan Kuningan". Bahkan motif politik itu absen dalam Tragedi 11 September di Amerika.
Kita selalu mendengar motif itu bukan dari pelaku atau tertuduh sendiri, melainkan dari George Bush ("mereka membenci demokrasi dan kebebasan ala Amerika") atau dari polisi Indonesia ("mereka membenci orang kafir").
Tidak pernah ada klaim dari pelaku teror untuk ledakan di WTC 11 September 2001, tidak pula dari serangkaian bom di Indonesia. Jika Usamah bin Laden dalangnya, misalnya, kenapa dia justru membantah telah melakukan teror di Amerika itu? Kenapa dia menolak mendapatkan daya taawr politik yang demikian tinggi? Hal serupa terjadi di Indonesia.
Kita bisa mengatakan di sini: tidak ada motif politik dari para pelakunya, bahkan jika para tersangka itulah yang benar-benar membunuh dan meledakkan bom. Tidak ada signifikansi politik bagi mereka, bahkan jika mereka memiliki goal politik yang jelas (selama ini tidak jelas).
Sebaliknya dari itu, teror bom baik di Amerika maupun Indonesia justru memberikan leverage politik besar bagi George Bush atau keuntungan politik maupun material bagi Datasemen 88/Pemerintahan Yudhoyono, sama seperti "Teror Komando Jihad" memberi leverage politik pada Rezim Soeharto dulu.
"Jemaah Islamiyah" mungkin benar-benar ada, sama eksis-nya dengan "Komando Jihad" di masa Orde Baru atau "laskar ini dan laskar itu" yang siapa saja bisa membuatnya. Tapi, saya tidak bisa sampai sejauh ini memahami apa goal dan motif politik dari gerakan itu.
Ada banyak orang yang bisa "Jemaah Islamiyah" definisikan sebagai kafir, tapi kenapa orang kafir di Cafe itu pada hari itu yang mereka bunuh? Apa pula signifikansi politiknya, sesuai dengan tujuan politik mereka? Punyakah mereka sayap politik/diplomasi yang bisa menangguk daya tawar dalam negosiasi politik dari kekerasan di Bali itu?
Aspek kedua yang perlu dipahami oleh para wartawan terletak pada intisari dari profesi ini. Menurut Bill Kovach, "jurnalisme adalah dispilin verifikasi". Verifikasi artinya menguji, memeriksa sejumlah klaim. Apa yang dikatakan oleh polisi dan aparat intelijen adalah KLAIM (bahwa si anu terlibat dalam anu dan merencanakan anu), tidak otomatis klaim itu merupakan FAKTA. Percaya apa saja yang dikatakan oleh polisi adalah mengebiri profesi jurnalisme di tingkat yang paling dasar.
Banyak media (televisi dan kantor berita khususnya) tidak bisa melakukan verifikasi untuk alasan yang bisa dipahami, karena keterhimpitan deadline misalnya. Dalam hal ini, banyak media harus bersikap fair kepada pembacanya. Kantor-kantor berita seperti AFP, Reuters atau Associated Press, sering sekali menambahkan frase "The authenticity of the claim could not be immediately verified"--sebuah pengakuan terbuka kepada pembaca/pemirsa bahwa mereka belum sempat membuat verifikasi.
Namun, juru propaganda kini dididik pula untuk memahami bagaimana cara wartawan bekerja. Wartawan dan media kini hidup dalam siklus berita (news cycle) yang makin cepat, jam bahkan menit. Ditimbun oleh peristiwa, fakta dan klaim terus-menerus, wartawan dan media rentan untuk lupa melakukan verifikasi.
Dalam isu terorisme internasional, misalnya, kantor-kantor berita terus mengulang-ulang frase yang sama, bahwa "The authenticity of the claim could not be immediately verified"--tanpa benar-benar menunaikan pekerjaan rumahnya, yakni verifikasi. Dan terus-menerus menyajikan berita "setengah matang" kepada audiens-nya, tanpa sadar bahwa apa yang sebenarnya "setengah-fakta" kemudian ditelan pembaca dan pemirsanya sebagai "fakta".
Di tengah gempuran peristiwa-peristiwa setiap hari, didera "siklus berita" yang kian pendek (jam dan menit), para wartawan mudah terjangkit amnesia (lupa apa yang mereka tulis/tayangkan dua pekan lalu) dan tidak sempat melakukan verifikasi sementara peristiwa-peristiwa baru terus muncul.
Sudah begitu ditambah lagi dengan daya kritis yang tumpul, prejudice "anti-Islam" yang membuat mereka lebih cenderung hanya percaya pada polisi. Lebih buruk lagi, media/wartawan jarang memiliki kerendahan hati untuk meminta maaf. Adakah media di sini yang meminta maaf secara sepadan untuk pemberitaan mereka tentang Abu Bakar Baasyir yang sudah mereka identikkan sebagai monters di masa lalu?